Pagi Cerah yang Dinantikan
Februari 2009 tepat tanggal satu adalah awal sebuah cerita
kami, persahabatan yang diawali dalam sebuah band. Kami bukanlah musisi yang
sangat meresapi apa itu nada pentatonis. Sekumpulan anak 'hilang' yang
menemukan musik sebagai pemersatu diri. Suara sumbang, gitar salah setting,
drummer yang terlalu cepat bermain tempo, hingga duet melankolis sungguh sangat
dekat dengan kami, kurasa. Tapi semua itu adalah awalan yang berlawanan dengan
hasilnya. Itulah sebuah band parodi yang dibentuk bersama sahabatku, Jovi,
Nanda, Hafidz juga dibantu oleh vokalis-melankolis Debora Ayu dan
drummer-berbagi-tugas Rio Rizki.Tur dalam kota sendiri? Kami sungguh
menikmatinya. Saat itu, kerekatan kami masih trio, yaitu Jovi, Hafidz, dan aku
sendiri. Pernah dikala kami bertiga terkejut menikmati fasilitas hotel Ciputra
yang didapatkan secara tiba-tiba. Mungkin hal yang kurang wajar, apabila tiga orang
siswa berusia 15 tahun menginap di hotel bintang lima tanpa didampingi orang
tua - hanya untuk mengacak-acak isi kamar hotel dan fasilitas lainnya... hahaha.
Ya... begitulah isi pikiran anak yang masih beranjak dewasa. Playing
is fun for us.
We did some jackass' things |
Banyak hal konyol yang kami lakukan
di hotel tersebut. Oh iya, kami mendapatkan jatah menginap selama dua hari-satu
malam. Pada malam pertama (duuuh... bahasa yang sedikit ambigu),
tepatnya pada malam minggu, keusilan yang pertama kalinya kami lakukan adalah
bermain-main dengan lift di hotel. Buseeet... kayak orang baru
pertama yang hebring pertama kali pakai lift. Naik-turun,
buka-tutup, sampai ngusilin penghuni hotel yang hendak
menggunakan lift. Yeah, we though we're great to see them through.
Setibanya di kamar kami, hal pertama
yang dipikirkan adalah mengacaukan isi kamar. Malangnya kamar yang menjadi
singgahan kami itu. Kami membuat semacam ice bucket challenges,
namun yang digunakan adalah air panas dari kran water heater, guys!.
Semua menerima tantangan tersebut. Hingga kemudian tiba waktunya untuk berenang
di swimming pool hotel pada lantai dasar. Kekacauan pun juga
kami buat disana. Berenang kemudian memasuki sauna, bermain-main dengan alat gym. Antara
usil dan udik adalah hal yang kami bertiga rasakan. Berdalih mencoba hal-hal
yang baru, kami mengacaukan hotel secara innocent.
Hari berganti, Minggu tiba. Tepat di
depan hotel biasanya ada pasar tumpah Simpang Lima. Satu hal yang kami pikirkan
adalah sarapan. Perut yang kosong disertai serangan dinginnya AC hotel
adalah kabar buruk untuk kami. Kami takut apabila sarapan di hotel pasti
bayarnya mahal. Seingatku, diujung Plaza Simpang Lima terdapat angkringan yang
siap sedia 24 jam.
"Bagaimana kalau kita
menyelundupkan makanan dari amgkringan itu, Jov. Kita pakai saja jaket yang
tebal." Pikiran kreatifku muncul ketika kelaparan yang sangat ini melanda.
Memang, saat itu hal tersebut adalah ide terbaik untuk
bertahan hidup di hotel dingin ini. Kemudian kami melakukan suit untuk
menjalankan mission impossible ini.
The rule is, if there is someone loose the gambler, He must do the mission impossible and bring the food and beverage in. How was heppen, I loose that gambler, and Jovi did to.
Kami
berdua kemudian keluar dari hotel menuju warung di sudut Plaza Simpang Lima.
Membeli beberapa bungkus nasi dan gorengan. Yeah.. you know, kami
menggunakan jaket tebal untuk ‘menyelundupkan’ makan tersebut masuk hotel.
Disinilah tantangannya. Kamu harus bisa, kamu harus bersikap biasa saja, dan
tentunya kamu harus terlihat tetap langsing!
Memang
mendebarkan apabila kami berpapasan dengan pegawai hotel. Memasuki pintu hotel,
dimana resepsionis berada di sebelah kiri pintu masuk, terdapat beberapa
lukisan abstrak sepanjang lorong menuju lift. Di seberang
resepsionis terdapat mini bar yang didindingnya tergantung beberapa
lukisan kopi.
Hingga
perjalanan menuju lift, kami masih belum tenang. Langkah kaki yang
lambat kami percepat ketika mendekati lift. Disitulah letak sebuah
kelegaan yan luar biasa. Seperti kamu menemukan pompa bensin ketika kamu
merasakan mulas pada perutmu... hahaha. Memasuki lift, kami
bersyukur dan dengan segera menekan angka 10 pada tombol lift. Mendekati
lantai dua, seorang petugas hotel memasuki lift. Kami berdua berdebar
lagi. Bertambah berdebar lagi ketika petugas yang dikemejanya bertuliskan ‘Sutaryo’.
Aku rasa itu adalah namanya.
“Apakah
Tuan-tuan sekalian sudah sarapan?” Tanya petugas hotel tersebut. “Silahkan
apabila belum, menuju lantai dua ini.” Lanjutnya menerangkan kami.
Kami
berdua hanya tersenyum. Petugas tersebut kemudian menjelaskan lagi bahwa setiap
penghuni kamar hotel yang hendak sarapan bisa menuju meja registrasi di lantai
dua dengan menyebutkan nomor kamar yang dihuni. Hal tersebut sudah merupakan
layanan hotel yang diberikan sepaket dengan menginapnya.
Aku dan Jovi tersenyum kecut. Didalam batin kami mungkin berbunyi seperti ini, ‘Oh God. Why you didn’t tell us before. You know that, It’s FREE you know. We repeat once again, It’s Free.’ Kami keluar ketika sudah mencapai lantai sepuluh dengan meninggalkan petugas tersebut di dalam lift.
‘Disitulah kami merasa bahwa
setiap perjuangan ada hikmahnya. Kami berjalan menuju kamar, dan nantinya akan
bercerita tentang hal ini kepada Hafids.’ kenangku sambil tertawa mengingat
peristiwa tersebut.
Komentar
Posting Komentar
Leave A Comment to Apreciate Some!